Dalam permasalahan yang kontroversial semacam LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), pasti ada yang pro, kontra dan ada juga yang memilih untuk diam saja tidak banyak komentar. Toh kita memang tidak akan campur tangan langsung dalam kehidupan mereka yang memilih jalan hidup sebagai LGBT.
Tapi hidup itu memang banyak sekali resiko. Termasuk resiko dari apa yang menjadi pilihan kita sendiri. Pertanyaannya, apa kita mengambil resiko untuk keegoisan sendiri, atau memang mengambil resiko demi sebaik-baiknya tujuan hidup.
Tim NgeHits menelusuri jejaring sosial dan menemukan sebuah postingan menarik tentang kontroversialnya LGBT, khususnya buat negeri ini. Coba perhatikan postingan di bawah ini.

LGBT ternyata bukan tentang HAM
“Dokter itu bilang, udah banyak pasien HIV dia obatin. Dr yg badannya msh prima sampe yg udah ancur. Rata2 krn LGBT. Ketika badan udah ancur, siapa yg mau bersihin darah dari badan mrk? Bukan aktivis HAM, bukan pembela hak2 LGBT, tapi ibu2 mrk sendiri. Ibu mrk yg dari dulu nasihatin mrk supaya jgn nakal. Ketika mrk ancur, ibu mrk jg yg bersihin darah mrk. Pembela HAM gak akan mau.”
Konfliknya memang orang-orang yang memilih menjadi LGBT kerap mengalami bullying, penindasan dan diskriminasi. Ini adalah efek dari lingkungan yang memiliki prinsip berseberangan dengan pilihan hidup mereka.
Yang keliru adalah bila kita menjadi aktivis HAM dan membela hak mereka dengan dasar ‘setiap orang berhak menentukan orientasi seksual mereka’.
LGBT itu pilhan hidup yang nggak sederhana, dan itu bukan tentang HAM atau hak seorang individu aja, tapi bisa memberikan efek domino entah pada keluarganya, keturunannya, saudaranya. Kalo udah seperti ini, kita berani tanggung jawab?
Jadi kalau aktivis HAM mau membela hak-hak orang seperti ini, pikir lagi apakah itu memang benar-benar buat kebaikan mereka, atau kita malah sedang ikut mendorong mereka ke jurang bunuh dirinya sendiri.
Ternyata manusia sering merusak haknya sendiri
Manusia itu, apalagi yang masih muda, sering merasa punya banyak waktu, kesempatan dan kekuatan. Lupa kalo di atas langit masih ada langit, susah nggak selamanya, tapi senang juga nggak selamanya.
Lalu kita bikin keputusan yang kita yakini seyakin-yakinnya, tanpa mau menambah ilmu, berpikir lebih jauh, berpikir lebih dalam.

Penyimpangan orientasi seks seperti ini justru seperti tantangan hidup yang mestinya kita taklukkan. Dan dalam hal ini, peran SPIRITUAL untuk menangkal EGO itu amatlah penting.
Kita semua dilahirkan dengan memiliki hak asasi. Tapi, bukan menjadi egois dengan hak-hak yang kita punya. Siapa tau kita mengedepankan hak kita sendiri, tapi besok-besok yang menanggung resikonya ortu lagi, ortu lagi. Think again! Menyesal selalu datang belakangan.
Gimana opinimu, Anak Hits?